Kertas Usang Dua
7:13:00 PMKamis
di bulan April
Sekarang mungkin sudah jam 12an (malam). Masih ku ingat peristiwa beberapa jam yang lalu, aku diusir dari rumah. Tak ada pikiran lain selain rumah Dara. Sudah tidak mungkin aku kerumah Tia karena terlalu mudah untuk terlacak orang rumah. Dalam perjalanan kemari, pikiranku mumet, malam ini malam yang menakutkan, sungguh betapa rawannya perjalanan kemari. Aku takut jalan di malam hari dalam sikon seperti ini. Aku takut ketemu preman, tukang pemerkosa, pokoknya orang-orang yang tidak baik. Aku berjalan dari rumah ke pasar dengan amarah dan kebingungan yang besar. Aku marah kepada orang-orang dirumah (sampai malas sekali untuk menyebut nama mereka) tapi aku juga marah dengan diri sendiri.
Aku serasa tidak menemukan jalan keluar, sekelilingku gelap. Tak ada yang mau menolong. Tuhan saja hina rasanya punya umat sepertiku. Sudah dua tahun ini aku tidak solat, tak kenal Allah, apalagi mengharapkan ketemu bapak. Serasa hidup sendiri, sepi, mau teriak sekeras-kerasnya, mau membanting barang sekeras-kerasnya seperti tidak ada yang peduli.
Aku marah sama ibu untuk banyak hal. Aku tidak suka ibu yang berubah sikapnya setelah menikah lagi. Ibu yang sekarang bermulut besar. Aku mau ibu yang dulu, yang sukanya merendah hati, bukan jadi orang yang sombong karena hanya menikah dengan pria berpenghasilan tinggi dari bapak. Aku mau ibuku, ibu yang dulu dengan segala sifat baiknya yang aku lihat sewaktu kecil.
Aku benci kedua kakakku. Aku benci sama Masku. Aku benci karena apa yang ia ucapkan itu benar, mungkin aku tidak bisa menerima ucapannya, sekarang aku jadi benci, aku tidak terbiasa lagi sama mas, padahal aku kangen masku.
***
Entah aku harus berkata apa setelah membaca apa yang kau guratkan di kertas putih.
Sementara, kita sudah lama tidak bersua, apa kabar kau sahabatku?
0 comments